Minggu, 19 Februari 2012

Padang-Jakarta-Bogor episode 2


Puskomdays hari pertama di IPB, Ifa dan teman-teman hanya bisa mengikuti acara terakhir. Gedung Andi Hakim Nasoetion ramai dengan mahasiswa dari berbagai propinsi di indonesia. Yang membuat Ifa terkagum-kagum ya semangat saudara-saudaranya dari Indonesia bagian Timur. Sekitar pukul 17.30 WIb acara pun berakhir, semua peserta di pandu panitia pulang ke penginapan. Ifa terpiah dengan Kak Lastri dan kak Retno. IPB sudah mulai gelap padahal baru jam setengah enam sore, kalau di Padang jam segini mah masih terang benderang ujar hati Ifa. Dengan bus kampus Ifa dan peserta lainnya menuju Mesjid Al-Huriyyah sekalian mengambil barang-barang mereka.

Sony lipat Ifa bergetar, ada pesan masuk
"Wa'alaikumussalam, jadi Ukhti
 di Bogor sekarang? di IPB?"

Ifa sempat bingung di layar hp-nya tertulis pesan itu dari Tari, setelah berpikir panjang kenapa Tari bisa tahu  dan akhirnya dia ingat tadi sebelum acara dia sms teman SMA-nya itu.
"Iya, ukhti. ana sedang ada
 acara di IPB. Anti main
kesini lah, ana nggak tahu
daerah IPB. Anti tinggal
dimana? jauh nggak dari sini?"

"Wah, Ukh. Kebetulan ana
sedang jalan-jalan dekat IPB,
ana ke tempat Anti sekarang ya."

Setelah mengiyakan permintaan teman SMA nya itu, Ifa sedikit ragu dan merasa bersalah. Bukankah hari sudah terlalu larut untuk seorang akhwat berjalan sendirian di tengah kota seperti ini pikirnya dalam hati. Tapi temannya itu tetep bersikeras akan menemuinya malam itu juga.

Ifa menunggu di depan Mesji Al-Huriyyah. Kabarnya teman SMA nya itu sudah bercadar. Cadar, ah kain penutup sebagian wajah yang hanya menampakkan kedua mata itu sudah lama ingin di pakai sahabat baiknya itu. Ifa jadi ingat kelakuan mereka di sebuah tko Islami di Bengkulu waktu mereka masih pakai seragam abu-abu putih, dia dan sahabatnya itu mencoba-coaba jilbab lebaaarr lengkap dengn cadarnya.. Masa-masa itu, sangat indah.

Tak lama kemudian, seorang wanita bergamis biru kotak-kotak dipadu jilbab hitam selutut dan...cadar? ya benda hitam yang menutupi sebagian wajah wanita di hadapan Ifa memang cadar. benar ternyata sahabatnya itu sudah pakai cadar sekarang. Ifa sempat terpaku, hingga akhirnya si wanita bercadar memeluk tubuhnya erat. Dan tak butuh waktu yang lama keduanya saling melepas rindu. hampir dua tahun ya dua tahun mereka tidak bertemu.. mahasisiwi Tadzkia itu benar-benar berubah.

"Ana nggak berubah Ukh, Ana masih Tari yang dulu. Hanya pakaian Ana saja yang berubah. Bertahap Ukh."ujarnya membuka pembicaraan. Keduanya duduk di teras Mesjid sambil menikmati pisang coklat yang sempat Tari beli dalam perjalanan kesana tadi.

Ifa hanya terdiam, masih kaku melihat penampilan sahabat baiknya.

"Ukhti gimana?"
"apanya?" tanya Ifa bingung.
"Dakwah disana?"
"Ya, begitulah Ukh. semangat..."jawab Ifa pendek

Hening...

"Ukh, tahu tidak kenapa ana memutuskan untuk bercadar?" suara Tari parau. Ifa menoleh tapi tak menjawab

Tari pun melanjutkan ceritanya," Ukhti haruslah senang karena berada di Zona aman, Padang.Pusatnya dakwah. Ukhti tahu, disini pergaulannya bebas banget Ukh. Yang sudah paham pun sama saja. Ikhwan akhwat bicara berhadap-hadapan itu biasa. tak ada Hijab. kata menreka Hijab itu hanya ada di hati saja. Ana tak tahan Ukh!" air mata tari pun menetes. Ifa menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu.

Tak lama Tari pun tersenyum, "Tapi ana juga sudah memutuskan untuk menjaga rapat Hijab Ana Ukh. Ana akan menikah..."

Ifa tak terkejut mendengar berita itu, sebelumnya Tari juga sudah mengabarinya tepat satu hari sebelum dia ta'aruf. calon suaminya satu Universitas dengannya angkatan 2008.

Keputusan sahabatnya untuk menjaga izzah, menjauhkan diri dari zina membuat Ifa kagum. waktu SMA pun sudah ada yang melamar akhwat manis itu, tapi ditolaknya karena orangtua belum setuju. dan sekarang dengan kondisi seperti itu orangtuanya hanya bisa bilang iya. ukhti beruntung ujar Ifa dalam hati.

Pertemuan singkat itu banyak yang mereka bahas terutama tentang hijab. ifa banyak belajar dan banyak bersyukur. Tepat pukul 19.30 WIB mereka pun berpisah karena Ifa dan rombongan harus segera menuju penginapan.

Bus kampus merayap pelan di kegelapan malam kota Bogor. Ifa mengeluarkan HP lipatnya, membuka situs jejaring sosial, ada pesan untuknya... Ifa sedikit berkerut tak percaya karena seseorang yang tak terpikirkan akan mengiriminya pesan. cepat Ifa membuka inboks dan membaca pesan-pesan itu cepat..

"
Allah k telah memuliakan pemilik ilmu syar’i ini dan membesarkan keberadaan mereka. Dia Yang Maha Suci berfirman:

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah telah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang patut disembah kecuali hanya Dia, bersaksi pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dalam keadaan Allah menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang patut diibadahi melainkan Dia Yang Maha Perkasa lagi Memiliki hikmah.” (Ali ‘Imran: 18)

Allah k mengambil persaksian orang-orang yang berilmu syar’i beserta para malaikat-Nya tentang keesaan-Nya. Mereka mempersaksikan bahwa Dia adalah Rabb semesta alam. Dialah sesembahan yang haq, sementara peribadatan kepada selain-Nya adalah batil. Cukuplah ketetapan yang seperti ini sebagai pemuliaan terhadap orang-orang yang berilmu.

Orang-orang yang berilmu dibedakan dari selain mereka sebagaimana dinyatakan Allah k:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9)

أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d: 19)

Jelas, tidaklah sama antara yang satu dengan yang lain. Orang yang mengetahui bahwa petunjuk yang Allah l turunkan itu benar adanya sebagai suatu jalan keselamatan, tidaklah sama dengan orang-orang yang buta dari jalan tersebut dan buta tentang ilmu syar’i .
Allah k juga menerangkan bahwa Dia mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Hal itu tidaklah mereka capai melainkan karena besarnya kebaikan dan kemanfaatan yang mereka berikan kepada manusia. Oleh karena itulah, ada seorang alim yang berkata, “Alangkah bagusnya apa yang mereka berikan kepada manusia, namun sebaliknya alangkah jeleknya perbuatan manusia kepada mereka.”

Mereka memberikan bimbingan kepada manusia menuju kebaikan, menunjukkan mereka kepada kebenaran dan menyampaikan mereka kepada petunjuk. Tokoh pemilik ilmu (ahlul ilmi) yang terdepan adalah para rasul. Mereka adalah pemberi petunjuk dan penyampai dakwah. Mereka merupakan orang yang paling tahu tentang Allah l dan syariat-Nya.

Kemudian, orang yang paling utama setelah para rasul adalah yang paling mengikuti jejak rasul dan paling tahu apa yang mereka bawa, paling sempurna ajakannya kepada manusia untuk menuju agama Allah l, bersabar dalam berdakwah dan memberi bimbingan. Allah k berfirman:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang memiliki ilmu dengan beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)

Allah l menerangkan bahwa orang-orang berilmulah yang benar-benar takut/khasyah kepada-Nya dengan khasyah yang sempurna sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Hanyalah yang takut kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir: 28)

Ulama adalah orang-orang yang kenal dengan Allah l, mengenal nama dan sifat-sifat-Nya serta mengetahui syariat-Nya yang disampaikan oleh para rasul-Nya. Karena itulah Nabi kita Muhammad n bersabda kepada beberapa orang yang menganggap kecil ilmu yang beliau bimbingkan dengan mengatakan, “Kami tidak sama sepertimu, wahai Rasulullah! Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang belakangan.” Beliau menjawab, “Ketahuilah, demi Allah! Sungguh aku lebih takut kepada Allah daripada kalian dan lebih bertakwa kepadanya.”

Banyak sekali hadits yang datang dari Rasulullah n yang memuat tentang keutamaan ilmu, di antaranya hadits:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya dengan ilmu tersebut jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Hadits di atas menunjukkan kepada kita bahwa para penuntut ilmu agama berada di atas kebaikan yang besar. Mereka di atas jalan keberuntungan dan kebahagiaan, tentunya bila benar/lurus niatnya dalam menuntut ilmu, karena mengharapkan wajah Allah k dan ingin mengamalkannya, bukan karena riya` dan sum’ah atau tujuan-tujuan dunia lainnya.

Ia mempelajari ilmu hanya karena ingin mengetahui agamanya, mengetahui perkara yang Allah k wajibkan kepadanya. Dan bermaksud mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, hingga ia belajar dan mengamalkan ilmunya serta mengajarkannya kepada orang lain.

Setiap jalan yang ia tempuh dalam menuntut ilmu adalah jalan menuju surga, baik jalan tersebut secara hakiki ataupun maknawi. Perjalanan jauh yang ditempuhnya dari satu negeri menuju ke negeri lain, berpindahnya dari satu halaqah ke halaqah yang lain, dari satu masjid ke masjid lain, dengan tujuan mencari ilmu, ini semua teranggap jalan yang ditempuh guna beroleh ilmu. Demikian pula diskusi tentang kitab-kitab ilmu, meneliti dan menulis, semuanya pun teranggap jalan guna beroleh ilmu.
Dengan demikian sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk memerhatikan seluruh jalan yang bisa mengantarkannya kepada ilmu dan bersemangat menempuhnya karena mengharapkan wajah Allah k dan negeri akhirat. Ia sepantasnya berkeinginan mendalami (tafaqquh) agamanya, ingin tahu perkara yang diwajibkan padanya dan yang diharamkan, ingin mengenal Rabbnya di atas bashirah dan bayyinah, kemudian mengamalkannya. Ia pun ingin menyelamatkan manusia hingga ia berdiri sebagai orang yang mengajak kepada petunjuk dan menolong kebenaran, membimbing manusia kepada Allah k di atas ilmu dan petunjuk.

Orang yang seperti ini keadaannya maka tidurnya pun ternilai jalan menuju surga bila ia tidur dengan tujuan agar mendapat kekuatan dalam menuntut ilmu, agar dapat menunaikan pelajaran dengan baik atau agar mendapat kekuatan untuk menghafal kitab ilmu atau untuk safar dalam menuntut ilmu. Tidurnya orang yang seperti ini ternilai ibadah, demikian pula kegiatannya yang lain bila disertai niat yang benar. Beda halnya dengan orang yang jelek niatnya, ia berada dalam bahaya yang besar. Dalam sebuah hadits Rasulullah n bersabda:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ k، لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Siapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya dipelajari dalam rangka mengharapkan wajah Allah, namun ternyata mempelajarinya karena ingin beroleh materi dari dunia ini, ia tidak akan mencium wangi surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud1)

Ini merupakan ancaman yang besar bagi orang yang jelek niatannya dalam menuntut ilmu. Diriwayatkan dari Nabi n, beliau bersabda:

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ

“Siapa yang menuntut ilmu dengan tujuan untuk mendebat ulama, atau untuk debat kusir dengan orang-orang bodoh, atau untuk memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya (agar manusia memandang dirinya), maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka2.”

Telah datang pula dalam hadits yang shahih sabda Rasulullah n yang menyatakan bahwa ada tiga golongan manusia kelak pada hari kiamat api neraka untuk pertama kalinya dinyalakan guna membakar mereka. Di antara tiga golongan tersebut adalah orang yang mencari ilmu dan membaca Al-Qur`an karena niat selain Allah l, ia belajar ilmu agar dikatakan alim, dan membaca Al-Qur`an agar dikatakan qari`.3

Oleh karena itu, wahai hamba Allah l, wahai penuntut ilmu, hendaknya engkau ikhlas dalam beribadah dan meniatkannya hanya untuk Allah l. Hendaknya pula engkau bersungguh-sungguh dan penuh semangat dalam menempuh jalan-jalan ilmu dan bersabar di atasnya, kemudian mengamalkan apa yang terkandung dalam ilmu tersebut. Karena tujuan dari belajar ilmu adalah untuk diamalkan, bukan karena ingin dikatakan alim atau pun mendapatkan ijazah. Namun tujuannya adalah agar engkau dapat mengamalkan ilmumu dan membimbing manusia menuju kebaikan, dan agar engkau menjadi pengganti para rasul dalam dakwah kepada kebenaran.

Rasulullah n bersabda dalam hadits yang shahih:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah akan faqihkan (pahamkan) dia dalam agamanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Hadits di atas menunjukkan keutamaan ilmu. Bila Allah l menginginkan seorang hamba beroleh kebaikan, Allah l akan memahamkannya dalam agama-Nya hingga ia dapat mengetahui mana yang benar mana yang batil, mana petunjuk mana kesesatan. Dengannya pula ia dapat mengenal Rabbnya dengan nama dan sifat-sifat-Nya serta tahu akan keagungan hak-Nya. Ia pun tahu akhir yang akan diperoleh para wali Allah l dan para musuh Allah l.

Dari keterangan yang ada tahulah kita betapa besar dan mulianya ilmu.

Ilmu merupakan sesuatu yang paling afdhal dan paling mulia bagi orang yang Allah l perbaiki niatnya. Karena ilmu akan mengantarkan seseorang untuk mengetahui kewajiban yang paling utama dan paling besar, yaitu mentauhidkan Allah l dan mengikhlaskan ibadah untuk-Nya. Ilmu juga menyampaikan seseorang untuk mengetahui hukum-hukum Allah l dan apa yang diwajibkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, ilmu adalah kewajiban besar yang akan menyampaikan kepada penunaian kewajiban-kewajiban yang besar. Tidak ada kebahagiaan yang diperoleh para hamba dan tidak ada keselamatan bagi mereka kecuali dengan pertolongan Allah l kemudian dengan ilmu agama, berpegang dengan ilmu dan istiqamah di atasnya.

Ulama merupakan sebaik-baik manusia dan paling utama di muka bumi ini. Yang terdepan dari mereka tentunya para rasul dan para nabi r. Mereka adalah qudwah (teladan). Mereka merupakan asas/fondasi dalam dakwah, ilmu dan keutamaan. Setelah mereka, adalah ahlul ilmi sesuai dengan tingkatannya. Yang paling tahu tentang Allah l, nama dan sifat-sifat-Nya, yang paling sempurna dalam amal dan dakwah, maka dialah orang yang terdekat dengan para rasul, paling dekat derajat dan kedudukannya dengan para rasul di dalam surga kelak. Ahlul ilmi adalah pemimpin di bumi ini, cahaya dan pelita bagi bumi. Mereka membimbing manusia menuju jalan kebahagiaan, memberi petunjuk kepada manusia menuju sebab-sebab keselamatan dan menggiring mereka kepada perkara yang diridhai Allah k serta menjauhkan mereka dari sebab-sebab kemurkaan dan adzab-Nya. (bersambung, insya Allah)

(Dinukil Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-‘Ilmu wa Akhlaqu Ahlihi, Asy-Syaikh Ibnu Baz t)

1 Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud -pent.

2 HR. At-Tirmidzi, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi -pent.

3 Seperti ditunjukkan dalam hadits yang panjang, diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi t berikut ini: Rasulullah n bersabda:



“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala pada hari kiamat nanti turun kepada hamba-hamba-Nya untuk memutuskan perkara di antara mereka. Maka yang pertama dipanggil adalah seseorang yang hafal Al-Qur`an, orang yang terbunuh di jalan Allah dan orang yang banyak hartanya. Allah berfirman kepada si pembaca Al-Qur`an, “Bukankah telah Aku ajarkan kepadamu apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku?” “Ya, wahai Rabbku,” jawab si qari. “Lalu apa yang engkau amalkan dari ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” tanya Allah. Ia menjawab, “Aku menegakkannya (mengamalkannya) malam dan siang.” Allah bersabda kepada si qari, “Engkau dusta.” Para malaikat pun berkata yang sama, “Engkau dusta.” Allah berfirman, “Bahkan engkau ingin dikatakan, ‘Fulan seorang ahli membaca Al-Qur`an’ dan sungguh orang-orang telah mengatakan seperti itu….

Dan seterusnya dari hadits tersebut, sampai pada akhirnya Rasulullah n bersabda:

“Tiga golongan ini merupakan makhluk Allah pertama yang api neraka dinyalakan untuk membakar mereka pada hari kiamat.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi) –pent


semoga bermanfaat untuk yang membaca,..
 
Ifa tertegun membaca pesan-pesan itu....
 
ternyata masih ada pesan selanjutnya..
 
"Assalamualaikum wr wb
terkait note IBU yang ukhti buat, syukron atas nasehatnya, Semoga Allah SWT menerima amal Ibadah almarhumah dan semoga kesabaran dan ketabahan menyertai ahli waris(keluarga) yang ditinggalkan,,..kembali ana mau berbagi bacaan yang menurut ana bermanfaat untuk pengetahuan ilmu kita tentang agama,...ana kutip dari artikel yang tercantum..semoga bermanfaat untuk ukhti.

Amalan yang Bermanfaat Bagi Mayit


Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”

(QS. An Najm: 39).

Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya.[1]

Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan kami bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.

Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.

Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.

Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit

Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat saling mendoakan.”[2]

Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.”[3] Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.

Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”

Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ

“Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.”[4] Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.

Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.[5]
Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit

Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.

Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”[6] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[7].

Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya

Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,

إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ

“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

اقْضِهِ عَنْهَا

“Tunaikanlah nadzar ibumu.”[8]

Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.”[9] Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.

Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[10]

Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit

Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.[11] Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.”[12]
Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”

Beliau rahimahullah menjawab:

Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,

خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”

Ibnu Mas’ud mengatakan,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ

“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”

Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.

Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.

Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.

Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah-[13]

Catatan: Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena mereka saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan selanjutnya.

Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,

إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. ”

Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.”[14]

Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ

“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).”

Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ

“Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.”[15]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjawab sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si mayit. [Ta’ziyah memberi nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar dalam musibah ini dan berusaha menghibur mereka, pen]

Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal dengan istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a tertentu atau selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului kita untuk melakukan hal semacam ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan hal ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di medan perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu).

Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal semacam ini. Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak melakukan ma’tam.”[16]

Demikian pembahasan kami mengenai berbagai amalan yang dapat bermanfaat bagi si mayit. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman."

Pesan yang sangaat panjang. Ifa tak sempat mebaca semuanya dengan teliti, membaca cepat.. karena membaca pesan-pesan itu lewat HP cukup sulit....

to be continue...