Jumat, 24 Februari 2012

BAPAK..!

Hari sudah tampak gelap ketika bapak menghentikan motornya di sebuah kedai di pinggir pantai desa itu. Ku pikir bapak mau makan, tapi tidak. Bapak bilang dia sedikit ngantuk. Jadi istirahat dulu. Aku paham, perjalanan dari kampung bapak ke kota memang jauh. Enam jam perjalanan bawa motor bukan hal yang mudah. Belum lagi ditambah hambatan di jalan. Ah, aku yang hanya menumpang di balakang bapak pun berasa sangat lelah. Ngantuk.
                Langit mendung, gelap. Tanda-tanda mau hujan. Kami berteduh di bawah pondok. Tepatnya kedai yang ditinggal pemiliknya. Bapak menyodorkan selembar uang sepuluhribuan padaku. Menyuruhkun membeli minuman. Kubeli beberapa botol minuman ringan. Lalu kusodorkan ke bapak. Tapi bapak menolak dan malah menyuruhku menghabiskannya saja. Ternyata bapak bukannya mau minuman tapi bapak mau anaknya ini minum mungkin karena dilihatnya aku sepertinya lelah dan haus. Padahal aku sama sekali nggak haus, tapi lelah iya. Minuman-minuman itu hanya bermain-main saja di tanganku.
                Tiba-tiba gerimis lalu tak sampai satu menit hujan semakin lebat, di tambah lagi badai. Sebuah motor berhenti didekat kami. Pengemudi dan penumpangnya turun dan masuk ke pondok tempat kami berteduh. Bapak mempersilakan kedua orang itu duduk di sebelahnya .  Sementara aku sedikit bergeser ke pinggir pondok. Ku tatap tetes-tetes hujan yang berjatuhan dari pinggir atap pondok. Diam.
                Bapak menyerahkan jaket anti hujannya untuk kupakai. Padahal aku sudah pakai baju panjang di tambah jaket. Aku menolak. Kasihan bapak pikirku. Tapi bapak terus memaksa, kata bapak dia cukup pakai jas hujan saja. Tak lama dikeuarkannya jas hujan dari bawah jok motor. Hari semakin gelap. Walau hujan belum reda, tapi bapak memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Takut kemalaman. Hari sudah menunjukkan pukul enam sore, itu artinya  jika kami harus menempuh jarak sekitar tiga jam lagi maka kami baru samapi ke kota sekitar pukul sembilan malam.
                Menerobos hujan, bapak mengendarai motor pelan. Aku yang ada di belakang saja mengigil kedinginan lalu bagaimana dengan bapak yang ada di depan tanyaku. Kasian bapak.
                Sesekali bapak bertanya, mau durian atau mau sate. Beberapa kali pula aku menolak karena tak enak hati sama bapak. Tapi aku galau juga. Jangan-jangan yang mau sate sama durian tu bapak. Mungkin bapak lapar. Tapi kalau kami banyak-banyak singgah itu artinya akan lama pula kami sampai ke kota. Bapak baru saja akan menghentikan motornya, namun aku langsung minta bapak jalan saja. Ah, aku ini bagaiman sih. Bapak kan sudah berniat baik tapi malah aku tolak. Tapi tawaran terakhir bapak untyuk singgah di rumah makan padang tak bisa aku tolak. Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam. Jam-jam makan malam. Ku rasa bapak lapar. Aku iyakan saja ajakannnya.
                Bapak memesan makanan, lalu mengajakku duduk di kursi yang telah disediakan. Kami duduk berhadapan. Ini kali pertama aku makan berhadapan dengan bapak, di rumah makan pula. Kami jarang makan bersama seperti ini. Di rumah pun aku biasa makan di depan televisi sementara bapak makan di meja makan. Bapak makan lahap sekali. Akhirnya bapak bisa makan lahap lagi setelah beberapa bulan terakhir cara makan seperti itu tidak kulihat lagi sejak ibu “pergi”.
                Bapak, jasamu tak terbalas. Tangan-tangan yang dulu kokoh berotot itu semakin kurus saja. Hitam terbakar matahari. Berkarung-karung biji kopi bapak angkat sendiri dari tengah kebun yang jaraknya berkilo-kilo sampai ke halaman dangau. Kerjamu belum selesai, biji-biji kopi itu masih harus dijemur lagi kira-kira dua minggu. Pekerjaan berat.  Caramu mencari nafkah, membuat hatiku bergidik kadang perih hati ku rasa.

                Bapak, aku ingin menabung supaya kita bisa tawaf sama-sama di ka’bah, sujud sama-sama di masjidil haram. Aku ingat bapak membeli lukisan Ka’bah yang sedang dikelilingi jutaan orang, terpajang di ruang nonton. Bapak, do’akan agar kita bisa ke sana sama-sama, ya.. aamiin.
                Tiga puluh menit kemudian makanan kami pun habis. Kami pun melanjitkan perjalanan kembali. Hujan sudah lama berhenti. Bapak melepas jas hujannya. Aku pun melepas jaket bapak yang kupakai dan menyerahkannya ke bapak. Walau bapak sempat menolak tapi aku tetap memaksa. Akhirnya bapak mau juga memakai jaketnya kembali. Senyumnya tegas.
                Itulah kisah perjalanan panjangku bersama bapak. Dari Padang guci ke Bengkulu jam 15.30-22.00 WIB. Di bawah guyuran hujan dan malam yang dingin.
                Bapak, we LOVE you forever...
Tetap semangat meski Ibu telah tiada.. setiap butir biji kopi di kumpulkan dijemur, dan diolah hingga akhirnya bisa di jual... SEMANGATTT... Bapak!!!  (Okta dan Bapak)

Aktivitas yang sangaat melelahkan, tapi Bapak senantiasa tersenyum kepada anak-anaknya. Bapak ingin semua anaknya jadi sarjana dan hidup sukses.. aamiin... (Yunus dan Bapak)
               








Duka mendalam saat melepas kepergian isterinya tercinta.. "Aku rela.." katamu pelan.. (Bapak-Ayunda De-Ayunda Pebi)












Teruntuk my single parents...