Senin, 06 Februari 2012

Padang-Jakarta-Bogor


Di Perjalanan Pasar Baru-Bandara...
Sedan merah hati itu terus melaju kencang. Bandara Minang Kabau, tinggal beberapa menit lagi sedan merah itu sampai disana. Sementara itu gadis berjilbab merah yang duduk dikursi belakang sibuk memainkan sony lipatnya. Tut..tut...tut terdengar kipet HP hitam itu berbunyi ketika jari-jari lentik itu menekannya. Huruf demi huruf hingga terbentuk untaian kalimat di layar HP mini itu, menjawab sms yang terus berdatangan dari orang-orang yang berbeda.
                “Lumayan juga kak, sopirnya lihai. Semoga sampai tepat waktu di Bandara”
                Sony lipat itu berdering untuk yang kesekian kalinya,” Yok lah. Hati-hati ya dek. Semoga selamat sampai Bogor. Oleh-olehnya jangan lupa yah, hehehe....” balasan dari kak Via.
                “Fa, sibuk amat. Siapa sih yang dari tadi sms?” gadis berjilbab coklat muda yang duduk di sebelah kanan gadis berjilbab merah berkomentar. Gadis berjilbab hitam yang duduk di sebelah kiri hanya diam menatap keluar jendela, tak peduli.
                “Iya, ni kak Lastri. Kakak satu wisma sms. Baru ditinggal bentar udah pada kangen sms terus,hehehe.” Sahut gadis berjilbab merah yang tak lain adalah Nur Lathifa.
***
                Di Bandara...
Sedan merah itu telah memasuki kawasan Bandara Minang Kabau. Dua orang ikhwan telah menunggu disana untuk membawa kembali sedan itu. Ifa tak terlalu kenal dengan dua orang yang baru ditemuinya itu. Tapi sang supir yang tak lain adalah ketua FKI Rabbani sepertinya kenal baik dengan mereka.
                “itu yang bawa koper siapa ya?” seloroh ketua FKI saat baru tiba di Bandara. Dengan sedikit tersipu malu Ifa menjawab,”ehmm...saya.” Bagaimana tidak dari keenam orang yang pergi hanya dia yang membawa koper. Yang lain hanya membawa ransel dan tas kecil saja. Wah, rasanya Ifa malu sekaligus kesal. Kak lastri bilang pulangnya senin pagi, itu artinya mereka di Bogor empat hari tiga malam makanya Ifa bawa baju banyak, ternyata pulangnya minggu pagi, jadi cuma tiga hari dua malam.
                Tahu gitu tadi bawa ransel aja. Ujar Ifa dalam hati. Teman-teman sudah mengambil tas mereka ketika Ifa mengambil kopernya. Koper dongker ukuran sedang itu dia keluarkan sendiri dari bagasi. Berat, tak ada ikhwan yang tergerak untuk membantunya. Hupf...harus mandiri nih, lagi-lagi Ifa berujar dalam hati.
“Wah, rupanya anti yang bawa koper ya?” dari belakang Zain menggoda Ifa. Ifa terkejut dan langsung berbalik mendapati ikhwan tinggi yang bicara padanya barusan. Zain sudah menundukkan pandangannya tepat saat Ifa menatap ke arahnya. Ifa teringat dengan komennya di FB tadi malam. Disana dia menuliskan bahwa kak Lastri kecewa zain nggak ikut karena nggak ada yang bawain kopernya. Aduh-aduh Zain membuat Ifa salah tingkah. Setahunya Zain nggak ikut, ternyata ikhwan yang sering menggodanya tapi tetap dingin itu ikut juga. Ifa jadi malu, karena yang bawa koper bukan kak Lastri tapi dirinya. Zain tersenyum penuh kemenangan tapi sedikit ada tanda tanya, sebenarnya yang kecewa Kak Lastri atau gadis pemalu yang tengah berdiri tertunduk di hadapannya itu. Zain geleng-geleng kepala tak mengerti.
                Ikhwan dan akhwat itu pun menuju pintu masuk. Lagi-lagi Ifa harus mengangkat sendiri kopernyaa ke atas troler. Lima anggota tim lainnya sudah melewati pintu pemeriksaan. Wah, benar-benar tu ikhwan nggak pedulian banget deh, gerutu Ifa. Tergesa-gesa Ifa membawa kopernya mengejar yang lain. Tiba-tiba seseorang meminta kopernya untuk dikemas, Ifa ragu, rasanya satu minggu yang lalu saat ia naik pesawat di Bandara yang sama nggak ada ceritanya tas dikemas gitu. Tapi Ifa nurut aja, padahal kak retno sudah memperingatkannya untuk terus jalan saja.
                Ifa bingung, petugas itu menanyakan nomor tiketnya, sementara dia tidak tahu karena tiketnya dipegang Teuku, ketua FKI. Ifa benar-benar pusing dibuatnya, kelima rekannya tidak ada yang membantu. Akhirnya Ifa berinisiatif memanggil salah satu dari mereka dengan melambai-lambaikan tangan. Zain langsung mendatangi tempat Ifa berada. Koper itu sudah dikemas sedemikian rupa dan Ifa harus mengeluarkan uang delapan ribu rupiah untuk fasilitas itu. Sungguh diluar dugaan. Zain berjalan meninggalkan Ifa dengan koper beratnya. Ni orang nggak berperasaan banget, bantuin kek. Kesal Ifa dalam hati.
                Tiket sudah di tangan, barang-barang sudah masuk ke bagasi pesawat batavia yang akan membawa mereka ke ibu kota negara, Jakarta. Masih ada waktu 45 menit lagi untuk take off. Ifa, Lastri, Retno duduk dikursi tunggu yang berseberangan dengan Zain, Teuku dan Adil.
                “Fa, ke toilet yuk, kebelet ni.” ajak Lastri. “Yuk!” sahut Ifa yang sedari tadi memang mau ke toilet. Dua akhwat berjilbab lebar itu pergi ke toilet setelah menitipkan barang-barang mereka pada akhwat berjilbab hitam yang dipanggil kak Retno.
                Ketiga akhwat itu sibuk foto-foto sambil mengisi waktu. Namun tak lama ketiganya sudah sibuk dengan urusan masing-masing.
                “kak, ikhwan-ikhwan itu kejam. Masa tadi Ifa bawa koper sendiri, nggak ada yang bantuin” curhat Ifa lewat sms
                Tak lama handphonenya berdering, di layar tertulis 1 pesan diterima, dari kak Via,” wah, tega ya. Nggak papa dek, kita wanita harus mandiri. Sabar aja, mungkin mereka segan sama Ifa.”
                “segan si segan kak, tapi kan yang namanya Ifa juga wanita yang kekuatannya nggak sekuat mereka, masa iya mereka nggak punya hati gitu. Hmmm!”
                “hehehe, mungkin hatinya ketinggalan dimana gitu..” guyon kak Via, “ jam berapa berangkatnya?” Ifa mengetik sms terakhirnya sebelum naik pesawat,”ni dah mau berangkat kak, fa matiin hp dulu ya. Nti Fa kasih kabar kalau dah nyampe Jakarta. “OK, hati-hati yah!” balas kak Via tak lama sebelum Ifa menonaktifkan Hpnya.
***
                Di pesawat...
Bangku nomor 26 A,Ifa berjalan melewati kursi-kursi pesawat sambil mencocokkan nomor yang ada di tiketnya dengan nomor pada kursi batavia itu. Yak, ini dia. Lastri dan Retno yang duduk di kursi 26B dan 26C mengikutinya dari belakang. Sementara Teuku, Zain dan Adil duduk di kursi 26D 26E dan 26F.
Lastri mengeluarkan handphone,”foto yuk!” pesawat belum berangkat jadi ketiga akhwat itu foto-foto lagi, hitung-hitung kenangan-kenangan. Mereka hanya sempat mengambil beberapa gambar. Wah, akhwat narsis abis mungkin itu ungkapan ikhwan-ikhwan yang duduk berseberangan dengan mereka.
Ifa beruntung duduk dekat jendela, jadi bisa melihat pemandangan di bawahnya. Pramugari sibuk memberi pengarahan dan memperagakannya, Ifa sudah pernah melihat kejadian itu tepat satu minggu yang lalu., ketika dia pulang ke Bengkulu naik pesawat. Dia ingat saat itu dia naik Lion kursi 17F. Memori itu mengingatkannya pada ibunya. Satu minggu yang lalu naik pesawat karena ibu. Ifa buru-buru menghilangkan pikirannya tentang ibunya tercinta sebelum air mata mengalir dipipinya. Perjalan ini harus dimanfaatkannya untuk memperbarui semangatnya lagi.
***
Bandara internasional Soekarnao-Hatta...
Batavia telah mendarat di bandara internasional Soetta, beberapa penumpang sudah turun termasuk Ifa dan tim yang lain. Sedikit berlari Ifa mengejar anggota tim, ini kali kedua Ifa ke Bandara ini. Lastri membawa ransel beratnya sendiri begitu pula dengan Retno. Teuku memberi kode pada Zain yang tidak mebawa apa-apa karena barangnya di bagasi untuk membawakan barang Lastri. Tapi karena ransel Lastri warnanya pink Zain mengurungkan niatnya dan hanya tersenyum kecil. Wah, parah ni ikhwan rasa simpatinya mana. Kali ini lastri yang kesal. Ifa dan Retno hanya geleng-geleng kepala.
Mereka nggak langsung keluar tapi ketempat pengambilan barang dulu. Retno dan Lastri nggak ikut ngantri karena barang-barang mereka nggak dititip di bagasi, mereka menunggu di belakang. Ifa beberapa kali memperhatikan barang-barang yang lewat di depannya. Tapi belum ada kopernya. Tak lama para ikhwan sudah mendapatkan barang mereka.
“Ifa, ini koper anti?” tanya Teuku meyakinkan, di sampingnya Zain hanya menatap penuh tanya menunggu jawaban Ifa. Agak ragu Ifa menjawab sambil melihat kembali koper yang dimaksud dengan seksama,”Ehmm, rasanya bukan.” Teuku berseloroh,”Oh!”
Barang-barang terus berlalu, tapi koper Ifa belum juga ketemu,”Wah,Ukh kopernya nggak ada nih. Gimana?” ujar Teuku.”Heh? ya gimana ya?” jawab Ifa bingung kok kopernya nggak datang-datang atau jangan-jangan. Ifa berbalik mengghampiri koper biru yang dimaksud tadi. Koper itu masih berada di troler di seberang. Ifa menyelidiki koper itu. Masyaallah ternyata benar itu kopernya. Malu. Teuku dan Zain menghampirinya.
“Gimana Ukh?” Ifa sambil tertunduk malu menjawab,”iya, ini koper ana. Afwan!”
Ifa mencoba menarik pegangan koper tapi tidak bisa,” afwan bisa bantu....” belum selesai Ifa bertanya Zain sudah mengambil koper itu dan membawanya pergi. Dalam hati Ifa berkata, syukron. Teuku menangkap ada sesuatu yang berbeda antara Ifa dan Zain, tapi dia buru-buru menepis pikiran itu. Dan tak lama dia menyusul Ifa dan kawan-kawan.
“Duh, enaknya yang kopernya dibawain.” Seloroh Lastri. Retno hanya diam, dingin. Ifa jadi salah tingkah,”Ah, kakak biasa aja kali...” Ifa tersenyum simpul. Sebenarnya dia merasa tersanjung karena Zain mau membawakan barang-barangnya sementara barang akhwat yang lain tidak dibawakannya. mahasiswa fakultas Hukum yang satu angkatan dengannya itu lebih banyak bertengkarnya di banding akurnya. Walau bertengkarnya hanya lewat sms dan facebook.
Ifa mengejar Zain dan Adil yang berjalan cepat di depannya. Teuku sudah berada di seberang. Di belakang Retno dan Lastri mengikuti mereka. Retno sedikit kesal melihat tingkah Ifa, mahasiswi Farmasi tingkat dua itu.
Dari Jakarta ke Bogor mereka naik Damri. Tapi berhubung Damri ke Bogor sudah penuh, mereka harus menunggu kedatangan Damri berikutnya. Tak ada tempat duduk yang kosong. Terpaksa mereka berenam harus berdiri. Satu per satu Damri berdatangan tapi bellum ada jurusan bogor. Beberapa penumpang mulai pergi, ada tempat kosong. Teuku, Lastri dan Adil sudah duduk. Sementara Zain, Retno dan Ifa masih berdiri. Satu penumpang lagi pergi, ada satu kursi kosong. Zain baru saja mau duduk, tapi nggak jadi. Dia mempersilahkan Retno duduk.
“Syukron!” retno menundukkan kepala. Setelah duduk dia melihat Ifa dan tersenyum penuh kemenangan. Dari jauh Ifa hanya tersenyum kecut, kenapa sih nggak dia aja yang dikasih tempat duduk. Sudahlah. Belum ada tempat kosong, tinggal Ifa dan Zain yang masih berdiri. Ifa melihat-lihat sekitar berharap Damri yang mereka tunggu segera datang. Tapi belum ada tanda-tanda bus itu kan datang. Pegal.
Damri ke bekasi datang, tiga penumpang yang duduk berdekatan pergi. Akhirnya Ifa bisa duduk. Beberapa menit kemudian Damri jurusan Bogor tiba. Mereka langsung menaiki Bus mewah berAC itu. Tak ada tempat duduk selain lima deret kursi paling belakang. Retno duduk di dekat jendela menyusul Ifa dan Lastri di sebelahnya. Sementara Zain dapat satu bangku didepan mereka. Adil dan Teuku mengisi bangku disebelah Lastri. Sedikit ada jarak antar bangku jadi Lastri dan Adil yang duduk bersebalahan bisa mengindari sentuhan dia antara mereka berdua. Lagipula Adil adik tingkat Lastri dan mereka tetangga yang sudah seperti keluaarga sendiri jadi mereka tidak terlalu canggung kalau harus duduk bersebelahan.
Damri mulai memasuki jalan tol di tengah Ibu Kota yang terkenal dengan bangunan tinggi itu. Walau sebelumnya pernah ke jakarta tapi Ifa belum pernah mengelilingi kota itu. Jadi dia sedikit tertegun melihat gedung-gedung pencakar langit yang terlihat dari luar jendela.
***
Bogor...
Selang satu jam kemudian Damri yang mereka tumpangi memasuki kota hujan, Bogor. Tapi Bogor terlihat panas siang ini. Mereka tiba di Botani Square, terminal terakhir bus jurusan Bogor. Zain, Adil dan Teuku sudah turun duluan. Terpaksa Ifa menurunkan sendiri kopernya. Cukup berat apalagi menuruni tangga bus. Sampai di bawah, Ifa kehilangan teman-temannya. Terminal cukup ramai. Tiba-tiba di sebelahnya Zain menghampiri,”Kesini Ukhti!” Zain meraih koper yang  berada disebelah Ifa. Hampir saja tangan mereka bersentuhan jika saja Ifa tak langsung menarik tangannya. Ni, ikhwan sembarangan, pikirnya. Tapi suasana terminal yang cukup ramai membuat zain tak memperhatikan kalau tangan Ifa masih memegangi kopernya. Jadi dia santai saja meraih koper itu.
Ni ikhwan, lihat-lihat kek kalau mau ngambil koper orang. Ifa tak senang. Sudahlah pikirnya. Dia berjalan cepat mengikuti punggung Zain yang mulai menghilang dianatara kerumunan orang. Hampir saja dia kehilangan jejak sosok tinggi itu kalau saja Zain tidak memanggilnya. “ sebelah sini ,ukh!”
Dilihatnya Zain sudah berada di dekat Teuku dan kawan-kawan yang tengah duduk di kursi tunggu. Kak Ayu dan Kak Retno juga. “ Dari mana aja buk?” tanya kak Retno ketus. Ifa hanya tersenyum kecut. Dia memalingkan wajah kearah kopernya yang masih setia di tangan Zain. “Ehm, akh. Sini kopernya biar ana yang pegang!” pintanya, Ifa merasa nggak enak sama akhwat yang lain karena hanya barangnya yang dibawakan.
“Nggak apa, Ukh. Perjalanan masih jauh. Lagipula kopernya nggak ringan kalau harus di bawa sama akhwat.” Ujar Zain meyakinkan. Ya sudah pikir Ifa. Tak lama mobil jemputan datang. Ternyata tante Teuku yang jemput. Untunglah jadi nggak usah naik angkot ke IPB.
                                                                                ***
Di IPB..
Seorang ikhwan dari IPB memandu kami ke Mesjid kebanggaan kampus Pertanian itu, Al Hurriyyah. Mesjid tiga tingkat itu cukup besar untuk ukuran mesjid kampus. Di depan Mesjid ikhwan dan akhwat berpisah. Zain meletakkan koper Ifa begitu saja. Tanpa kata-kata langsung pergi mengikuti ikhwan lain kelantai dua. Ifa menghampiri kopernya dan pergi mengikuti akhwat yang lain kesebelah kanan Mesjid. Disana ada ruangan khusus untuk istirahat dan meletakkan barang-barang. Panitia sudah mempersiapkan makan siang untuk mereka. Setelah makan Ifa dan retno yang sedang tidak sholat tidur sejenak,sementara Sulas sholat Ashar.
Sekitar jam 16an, mereka ke tempat acara. Cukup jauh berjalan ke gedung utama. Tak ada kendaraan. “Afwan, ya ukh. Kita jalan saja tak apa kan?” ujar panitia akhwat yang tinggi dan ramah itu merasa tidak enak.
Ifa tersenyum,”nggak apa-apa, Ukh. Udah biasa jalan.”
To be continue.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar